ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA MEDULA SPINALIS
Definisi
Trauma pada medula spinalis adalah
cedera yang mengenai servikalis, vertebra, dan lumbal akibat trauma, seperti
jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, dan
sebagainya. (Arif Muttaqin, 2005, hal. 98)
Trauma medula
spinalis adalah trauma yang bersifat kompresi akibat trauma indirek dari atas
dan dari bawah.
Etiologi
Menurut Arif muttaqin (2005, hal. 98)
penyebab dari cedera medula spinalis
dalah :
a. Kecelakaan lalu
lintas
b. Kecelakaan
olahraga
c. Kecelakaan
industi
d. Kecelakaan
lain, seperti jatuh dari pohon atau bangunan
e. Luka tusuk,
luka tembak
f. Trauma karena
tali pengaman (Fraktur Chance)
g. Kejatuhan
benda keras
Mekanisme Terjadinya Cedera Medula Spinalis
Menurut Arif Muttaqin (2005, hal. 98-99) terdapat enam mekanisme terjadinya Cedera Medula
Spinalis yaitu : fleksi, fleksi dan rotasi, kompresi vertikal, hiperekstensi,
fleksi lateral, dan fraktur dislokasi. Lebih jelasnya akan dijelaskan dibawah
ini:
a. Fleksi.
Trauma terjadi akibat fleksi dan
disertai dengan sedikit kompresi pada vertebra.
b. Fleksi dan rotasi.
Trauma jenis ini merupakan trauma
fleksi yang bersama-sama dengan rotasi.
c. Kompresi
vertikal (aksial).
Trauma vertikal yang secara langsung
mengenai vertebra akan menyebabkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan memecahkan permukaan serta badan vertebra secara vertikal.
d. Hiperekstensi atau retrofleksi.
Biasanya terjadi hiperekstensi
sehingga terjadi kombinasi distraksi dan
ekstensi
e. Fleksi lateral.
Kompresi atau trauma distraksi yang
menimbulkan fleksi lateral akan menyebabkan fraktur
pada komponen lateral, yaitu pedikel, foramen vertebra,
dan sendi faset.
f. Fraktur dislokasi.
Trauma yang menyebabkan terjadinya
fraktur tulang belakang dan dislokasi pada tulang
belakang.
Jenis-jenis Trauma Pada Sumsum Dan Saraf Tulang Belakang
Menurut Arif Mutaqim, (2005, hal. 99) jenis-jenis trauma pada sumsum tulang
belakang dan saraf tulang belakang adalah:
1) Transeksi
tidak total.
Transeksi tidak total disebabkan oleh trauma
fleksi atau ekstensi karena terjadi
pergeseran lamina di atap dan pinggir vertebra yang
mengatami fraktur di sebelah bawah. Selain itu, dapat terjadi perdarahan pada
sumsum tulang yang disebut hematomielia.
2) Transeksi
total.
Transeksi total terjadi akibat suatu trauma yang menyebabkan
fraktur dislokasi. Fraktur tersebut disebabkan oleh fleksi atau rotasi yang dapat menyebabkan
hilangnya fungsi segmen di bawah trauma.
TANDA DAN GEJALA
Tanda
spinal shock (pemotongan komplit ransangan), meliputi: Flaccid paralisis
dibawah batas luka, hilangnya sensasi dibawah batas luka, hilangnya
reflek-reflek spinal dibawah batas luka, hilangnya tonus vaso motor
(Hipotensi),Tidak ada keringat dibawah batas luka, inkontinensia urine dan
retensi feses à berlangsung lama
hiperreflek/paralisis spastic
Pemotongan
sebagian rangsangan: tidak simetrisnya flaccid paralisis, tidak simetrisnya
hilangnya reflek dibawah batas luka, beberapa sensasi tetap utuh dibawah batas
luka, vasomotor menurun, menurunnya blader atau bowel, berkurangnya keluarnya
keringat satu sisi tubuh
Sindroma
cidera medula spinalis sebagian :
1. Anterior
-
Paralisis dibawah batas luka
(trauma)
-
Hilangnya sensasi nyeri dan
temperatur dibawah batas luka
-
sensasi sentuhan, pergerakan,
posisi dan vibrasi tetap
2. Central
-
Kelemahan motorik ekstermitas atas
lebih besar dari ekstermitas bawah
3. Sindroma brown sequard
Terjadi
akibat trauma pada bagian anteror dan posterior pada satu sisi
-
Ipsilateral paralisis dibawah trauma
-
Ipsilateral hilangnya sentuhan,
vibrasi, proprioseption dibawah
4. trauma
-
Kontralateral hilangnya sensasi
nyeri dan temperatur dibawah lesi
Komplikasi
Kerusakan
medula spinalis dari komorsio sementara ( dimana pasien sembuh sempurna )
sampai kontusio, laserasi, dan komperensi substansi medula ( baik salah satu
atau dalam kombinasi ), sampai transaksi lengkap medula ( yang membuat
pasien paralisis dibawah tingkat cidera ).
Bila hemoragi terjadi pada daerah spinalis,darah
dapat merembes keekstra dural,subdural,atau daerah subarakhloid pada kanal
spinal.Setelah terjadi kontisio atau robekan akibat cidera,serabut-serabut
saraf mulai membengkak dan hancur.Sirkulsi darah kesubtansia grisea medula
spinalis menjadi terganggu.
Daerah lumbal adalah daerah yang paling
sering mengalami herniasi nukleus pulposus. Kandungan air diskus berkurang
bersamaa dengan bertambahnya usia. Selain itu,serabut-serabut itu menjadi kasar
dan mengalami hialinisasi yang ikut membantu terjadinya perubahan kearah hernia
nukleus pulposus melalui anulus,dan menekan radiks saraf spinal.
PENDARAHAN MIKROSKOPIK
Pada semua cidera madula spinalis atau
vertebra,terjadi perdarahan-perdarahan kecil.Yang disertaireaksi
peradangan,sehingga menyebabkan pembengkakan dan edema dan mengakibatkan
terjadinya peningkatan tekanan didalam dan disekitar korda.Peningkatan tekanan
menekan saraf dan menghambat aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan secara
drastis meningkatkan luas cidera korda.Dapat timbul jaringan ikat sehingga
saraf didarah tersebut terhambat atau terjerat.
HILANGNYA SESASI, KONTROL MOTORIK, DAN
REFLEKS.
Pada cidera spinal yang parah,
sensasi,kontrol motorik, dan refleks setingg dan dibawah cidera korda lenyap.
Hilangnya semua refleks disebut syok spinal. Pembengkakan dan edema yang
mengelilingi korda dapat meluas kedua segen diatas kedua cidera. Dengan demkian
lenyapnya fungsi sensorik dan motorik serta syok spinal dapat terjadi mulai
dari dua segmen diatas cidera. Syok spnal biasanya menghilang sendiri, tetap
hilangnya kontor sensorik dan motorik akan tetap permanen apabila korda
terputus akan terjadi pembengkakan dan hipoksia yang parah.
SYOK SPINAL.
Syok spinal adalah hilangnya secara
akut semua refleks-refleks dari dua segme diatas dan dibawah tempat cidera.
Repleks-refleks yang hilang adalah refleks yang mengontrol postur, fungsi
kandung kemih dan rektum, tekanan darah, dan pemeliharaan suhu tubuh. Syok
spinal terjadi akibat hilangnya secara akut semua muatan tonik yang secara
normal dibawah neuron asendens dari otak, yang bekerja untuk mempertahankan
fungsi refleks.Syok spinl biasanya berlangsung antara 7 dan 12 hari, tetapi
dapat lebih lama. Suatu syok spinal berkurang dapat tmbul hiperreflekssia, yang
ditadai oleh spastisitas otot serta refleks, pengosongan kandung kemih dan
rektum.
HIPERREFLEKSIA OTONOM.
Kelainan ini dapat ditandai oleh
pengaktipan saraf-saraf simpatis secar refleks, yang meneyebabkan peningkatan
tekanan darah. Hiper refleksia otonom dapat timbul setiap saat setelah hilangnya
syok spinal. Suatu rangsangan sensorik nyeri disalurkan kekorda spnalis dan
mencetukan suatu refleks yang melibatkan pengaktifan sistem saraf
simpatis.Dengan diaktifkannya sistem simpatis,maka terjadi konstriksi
pembuluh-pembuluh darah dan penngkatan tekanan darah sistem
Pada orang yang korda spinalisnya
utuh,tekanan darahnya akan segera diketahui oleh baroreseptor.Sebagai respon
terhadap pengaktifan baroreseptor,pusat kardiovaskuler diotak akan meningkatkan
stimulasi parasimpatis kejantung sehingga kecepatan denyut jantunhg
melambat,demikian respon saraf simpatis akan terhenti dan terjadi dilatasi
pembuluh darah.Respon parasimpatis dan simpatis bekerja untuk secara cepat
memulihkan tekanan darah kenormal.Pada individu yang mengalami lesi
korda,pengaktifan parasimpatis akan memperlambat kecepatan denyut jantung dan
vasodilatasi diatas tempat cedera,namun saraf desendens tidak dapat melewati
lesi korda sehngga vasokontriksi akibat refleks simpatis dibawah tingkat
tersebut terus berlangsung.
Pada hiperrefleksia otonom,tekanan
darah dapat meningkat melebihi 200 mmHg sistolik,sehingga terjadi stroke atau
infark miokardium.Rangsangan biasanya menyebabkan hiperrefleksia otonom
adalah distensi kandung kemih atau rektum,atau stimulasi reseptor-reseptor permukaan
untuk nyeri.
PARALISIS
Paralisis adalah hilangnya fungsi
sensorik dan motorik volunter.Pada transeksi korda spinal,paralisis bersifat
permanen.Paralisis ekstremitas atas dan bawah terjadi pada transeksi korda
setinggi C6 atau lebih tinggi dan disebut kuadriplegia.Paralisis separuh bawah
tubuh terjadi pada transeksi korda dibawah C6 dan disebut paraplegia.Apabila
hanya separuh korda yang mengalami transeksi maka dapat terjadi hemiparalisis.
a. Autonomic Dysreflexia
terjadi adanya lesi diatas T6 dan Cervical
Bradikardia,
hipertensi paroksimal, berkeringat banyak, sakit kepala berat, goose flesh,
nasal stuffness
b. Fungsi Seksual
Impotensi,
menurunnya sensasi dan kesulitan ejakulasi, pada wanita kenikmatan seksual
berubah
Penatalaksanaan medis
Menurut Muttaqim, (2008 hlm.111)
penatalaksanaan pada trauma tulang belakang yaitu :
A. Pemeriksaan
klinik secara teliti:
a) Pemeriksaan
neurologis secara teliti tentang fungsi motorik, sensorik, dan refleks.
b) Pemeriksaan
nyeri lokal dan nyeri tekan serta kifosis yang menandakan adanya fraktur
dislokasi.
c) Keadaan umum
penderita.
B. Penatalaksanaan
fraktur tulang belakang:
a) Resusitasi
klien.
b) Pertahankan
pemberian cairan dan nutrisi.
c) Perawatan
kandung kemih dan usus.
d) Mencegah dekubitus.
e) Mencegah
kontraktur pada anggota gerak serta rangkaian rehabiIitasi lainnya.
Konsep Asuhan Keperawatan Cedera Medula Spinalis
Menurut Arif Muttaqim, (2005, hlm.
103-107) hal-hal yang perlu dikaji pada pasien fraktur lumbal adalah sebagai
berikut:
I. Pengkajian.
a. Identitas
klien, meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada. usia muda),
jenis kelamin (kebanyakan laki-laki karena sering mengebut saat
mengendarai motor tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS), nomor
register, dan diagnosis medis.
b. Keluhan utama
yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan
adalah nyeri, kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia
urine dan inkontinensia alvi, nyeri tekan otot, hiperestesia tepat di atas daerah
trauma, dan deformitas pada daerah trauma.
c. Riwayat
penyakit sekarang. Kaji adanya riwayat trauma tulang belakang akibat
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, jatuh dari
pohon atau bangunan, luka tusuk, luka tembak, trauma karena tali pengaman
(fraktur chance), dan kejatuhan benda keras. Pengkajian yang didapat meliputi hilangnya
sensibilitas, paralisis (dimulai dari
paralisis layu disertai hilangnya sensibilitas secara total dan melemah/menghilangnya refleks alat dalam) ileus paralitik, retensi urine, dan hilangnya
refleks-refleks.
d. Riwayat kesehatan dahulu. Merupakan data yang diperlukan untuk mengetahui kondisi
kesehatan klien sebelum menderita penyakit sekarang , berupa riwayat trauma
medula spinalis. Biasanya ada trauma/ kecelakaan.
e. Riwayat kesehatan keluarga. Untuk mengetahui ada penyebab herediter atau tidak
f. Masalah
penggunaan obat-obatan adiktif dan alkohol.
g. Riwayat
penyakit dahulu. Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
penyakit degeneratif pada tulang belakang, seperti osteoporosis
dan osteoartritis.
h. Pengkajian
psikososiospiritual.
i. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan B3 (Brain)
dan B6 (Bone) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan klien.
1. Pernapasan.
Perubahan sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf parasimpatis (klien mengalami
kelumpuhan otototot pernapasan) dan perubahan karena adanya kerusakan
jalur simpatik desenden akibat trauma pada tulang belakang sehingga jaringan saraf di medula spinalis terputus. Dalam beberapa keadaan trauma sumsum tulang
belakang pada daerah servikal dan
toraks diperoleh hasil pemeriksaan fisik sebagai berikut.
Inspeksi. Didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, peningkatan frekuensi pemapasan, retraksi interkostal, dan pengembangan paru tidak
simetris. Respirasi paradoks (retraksi
abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika
otot-otot interkostal tidak mampu mcnggerakkan dinding dada
akibat adanya blok saraf parasimpatis.
Palpasi. Fremitus yang menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan
apabila trauma terjadi pada rongga toraks.
Perkusi. Didapatkan
adanya suara redup sampai pekak apabila trauma
terjadi pada toraks/hematoraks.
Auskultasi. Suara napas tambahan, seperti napas berbunyi, stridor, ronchi pada klien dengan peningkatan produksi sekret, dan kemampuan batuk menurun sering didapatkan pada klien cedera tulang belakang yang mengalami penurunan tingkat kesadaran (koma).
2. Kardiovaskular
Pengkajian sistem kardiovaskular pada klien cedera tulang belakang
didapatkan renjatan (syok hipovolemik) dengan intensitas
sedang dan berat. Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien cedera tulang belakang pada beberapa keadaan adalah
tekanan darah menurun, bradikardia,
berdebar-debar, pusing saat melakukan
perubahan posisi, dan ekstremitas dingin atau pucat.
3. Persyarafan
tingkat kesadaran.
Tingkat keterjagaan dan respons terhadap Iingkungan
adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Pemeriksaan fungsi serebral. Pemeriksaan dilakukan
dengan mengobservasi penampilan,
tingkah laku, gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien.
Klien yang telah lama mengalami cedera
tulang belakang biasanya mengalami perubahan status mental.
Pemeriksaan Saraf kranial:
a. Saraf I.
Biasanya tidak ada kelainan pada klien cedera tulang belakang dan
tidak ada kelainan fungsi penciuman.
b. Saraf
II. Setelah dilakukan tes, ketajaman penglihatan dalam kondisi normal.
c. Saraf
III, IV, dan VI. Biasanya tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata dan pupil isokor.
d. Saraf V. Klien
cedera tulang belakang umumnya tidak mengalami paralisis pada otot wajah dan refleks
kornea biasanya tidak ada kelainan
e. Saraf VII. Persepsi
pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris.
f. Saraf VIII.
Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
g. Saraf XI. Tidak
ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Ada usaha klien untuk
melakukan fleksi leher dan kaku kuduk
h. Saraf
XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi,
Indra pengecapan normal.
4. Pemeriksaan refleks:
a. Pemeriksaan
refleks dalam. Refleks Achilles menghilang dan refleks patela biasanya melemah
karena kelemahan pada otot hamstring.
b. Pemeriksaan
refleks patologis. Pada fase akut refleks fisiologis akan menghilang. Setelah
beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali yang didahului dengan
refleks patologis.
c. Refleks Bullbo
Cavemosus positif
d. Pemeriksaan
sensorik. Apabila klien mengalami trauma pada kaudaekuina, mengalami hilangnya
sensibilitas secara me-netap pada kedua bokong, perineum, dan anus. Pemeriksaan
sensorik superfisial dapat memberikan petunjuk mengenai lokasi cedera akibat
trauma di daerah tulang belakang
5. Perkemihan
Kaji keadaan urine yang meliputi
warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan
jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya
perfusi pada ginjal.
6. Pencernaan.
Pada keadaan syok spinal dan
neuropraksia, sering dida-patkan adanya ileus paralitik. Data klinis
menunjukkan hilangnya bising usus serta kembung dan defekasi tidak ada. Hal ini
merupakan gejala awal dari syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari
sampai beberapa minggu. Pemenuhan nutrisi berkurang karena adanya mual dan
kurangnya asupan nutrisi.
7. Muskuloskletal.
Paralisis motor dan paralisis
alat-alat dalam bergantung pada ketinggian terjadinya trauma. Gejala gangguan
motorik sesuai dengan distribusi segmental dari saraf yang terkena
II. Diagnosa
Keperawatan
Menurut Arif Muttaqim, (2005, hlm.
14-15) diagnosa keperawatan yang muncul pada Cedera Medula Spinalis adalah
sebagai berikut:
a. Ketidakefektifan pola napas yang
berhubungan dengan kelemahan otot-otot pernapasan atau kelumpuhan otot
diafragma.
b. Ketidakefektifan
pembersihan jalan napas yang berhubungan dengan penumpukan sputum, peningkatan sekresi
sekret, dan penurunan kemampuan batuk (ketidakmampuan batuk/batuk efektif).
c. Penurunan
perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan penurunan curah jantung akibat hambatan
mobilitas fisik.
d. Nyeri
berhubungan dengan kompresi saraf, cedera neuromuskular, dan refleks spasme otot sekunder.
e. Ketidakseimbangan
nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
kemampuan mencerna makanan dan peningkatan kebutuhan
metabolism
f. Risiko tinggi
trauma yang berhubungan dengan penurunan kesadaran dan hambatan mobilitas
fisik.
g. Hambatan
mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskular.
h. Perubahan pola
eliminasi urine yang berhubungan dengan kelumpuhan saraf
perkemihan.
i. Gangguan
eliminasi alvi/konstipasi yang berhubungan dengan gangguan persarafan
pada usus dan rektum.
j. Defisit perawatan diri yang
berhubungan dengan kelemahan fisik ekstremitas bawah.
k. Risiko infeksi
yang berhubungan dengan penurunan sistem imun primer (cedera pada jaringan paru,
penurunan aktivitas silia bronkus), malnutrisi,
dan tindakan invasif.
l. Risiko
kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan imobilisasi dan tidak
adekuatnya sirkulasi perifer.
m. Perubahan
persepsi sensori yang berhubungan dengan disfungsi persepsi
spasial dan kehilangan sensori.
n. Ketidakefektifan
koping yang berhubungan dengan prognosis kondisi sakit, program pengoba tan, dan lamanya tirah baring.
o. Ansietas yang
berhubungan dengan krisis situasional, ancaman terhadap konsep diit, dan perubahan
status kesehatan/status ekonomi/ fungsi peran.
p. Ansietas
keluarga yang berhubungan dengan keadaan yang kritis pada klien.
q. Risiko
ketidakpatuhan terhadap penatalaksanaan yang berhubungan dengan
ketegangan akibat krisis situasional.
Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan
kerusakan integritas jaringan Kaji nyeri yang dialami klien
· kaji faktor yang menurunkan
toleransi nyeri
· kurangi atau hilangkan faktor
yang meningkatkan nyeri
· Pantau tanda- tanda vital
· Ajarkan tekhnik distraksi dan
relaksasi
· Kolaborasi dalam pemberian obat
Analgetik
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan
dengan fraktur lumbalis
· Tingkatkan mobilitas dan pergerakan
yang optimal
· Tingkatkan mobilitas ekstremitas
atau Latih rentang pergerakan sendi pasif
· Posisikan tubuh sejajar untuk
mencegah komplikasi
· Anjurkan keluarga untuk memandikan
klien dengan air hangat.
· Ubah posisi minimal setiap 2
jam sekali
· inspeksi kulit terutama yang
bersentuhan dengan tempat tidur
c. Inkontinensia defekasi bd kerusakan
saraf motorik bawah
· Kaji adanya gangguan pola eliminasi
(BAB)
· observasi adanya peses di pampers
klien
· Anjurkan kepada klien untuk memberi
tahu perawat atau keluarga kalau terasa BAB
· Anjurkan kepada keluarga untuk
sering mengawasi klien
· Jelaskan kepada klien tentang adanya
gangguan pola eliminasi
d. Defisit perawatan diri: mandi
· Kaji keadaan umm klien
· Kaji pola kebersihan klien
· Lakukan personal hygiene (mandi)
pada klien
· Libatkan keluarga pada saat
memandikan
e. Kurang pengetahuan berhubungan
dengan kurang terpaparnya informasi
· Kaji tingkat pengetahuan klien
· Kaji latar belakang pendidikan klien
· Berikan penkes kepada klien dan
keluarga tentang penyakit dan diit makanan yang dapat mempercepat penyembuhan
· Berikan kesempatan klien untuk
bertanya
· Evaluasi dari apa yang telah
disampaikan
DAFTAR PUSTAKA
ginsberg,lionel.2007.lecture notes neurologi.erlangga
:jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar