Karya : Era Sofiyah
Inilah sesungguhnya jejak yang tak berdusta
Ketika waktu menggerus masa
Dintara luka yang tak berkelu
’’maaf nak’’, bukan maksudku sengaja membuatmu membatu
Ini hanya sekedar tentang cinta yang tak kau tahu
Maka tak ada sesal yang harus
kueja
Karena waktu mengajariku untuk tak menangisi sejarah
Akan kuceritakan sebuah hikyat
Tentang selaksa peristiwa
Ketika asa mencipta harapan
’’Ijinkn aku bu, mengangkat sauh’’, katamu dulu
Kan kuhirup aroma dikedalaman laut
Menaklukkan segala curam batu karang
Kelak kan kubawakan segenggam pualam
Untukmu yang telah membagi air kehidupan
Duh, Inilah sesungguhnya keberangkatan
Tak harus ada seduh sedan
Kupupuskan segala resah yang menggoyah
Kugenggamkan hatiku pada ceracau tetua
Biarlah bujang pergi kenegeri seberang
Karena laut akan membawanya pulang
Pada nyiur dan jelaga hitam
Maka kehilangan adalah kematian bagiku
Duh,anakku
Kau yang telah sematkan bunga api
Dari mulut sumbingmu
Setelah berbilang waktu
Kau rengkuh kenikmatan di rahimku
Lalu kepada siapa lagi rindu ini harus kupasung, duhai sayang
Sungguh, aku hanyalah wanita tua yang tak berdaya menggenggam bara
Maka disini aku akan menemanimu setiap subuh
Untuk hapuskan segala resah
Kan kudendangkan lagu –lagu perindu
Agar hilang segala kelu
Kan kubacakan syair tua-tua dahulu
Agar kau tak melulu diserbu sesal yang gaduh
ii
Kupasrahkan segala yang tersisa
Di negeri yang kini telah luluh
Lihat, lihatlah
perempuan-perempuan yang berjalan setengah telanjang
Dengan tuak ditangan
Dan mata yang menggelinjang
Lalu mereka campakkan
benih-benih tak bertuan
Oh, negeri ini telah menjelma
menjadi sarang durjana
Dengar,dengarlah nak!
Seduh sedan para tetua
Telah hilang bujang-bujang
kecintaan mereka
Sebab dikutuk peradaban
Untukkmu yang berhidmat dalam
bisu
Kan kubingkai keikhlasan dalam
pilu
Bila itu mengembalikanmu pada
yang dulu
Agar aku bisa memelukkmu setiap
subuh
iii
Ibu, Rasanya aku tak perlu lagi
mengingatmu
Mengingatmu adalah mengingat
kesakitan masa lalu
Sungguh bu, hasrat telah
menenggelamkanku pada lautan dendam
Dendam atas segala peristiwa
yang tak kau rasa
Dendam atas segala kemiskinan
yang membuatku tak berharga
Dendam atas segala kebodohan
yang tak terbantahkan
Bagiku kau hanyalah perempuan
renta pengunyah sirih
Tak seharusnya kau ada di
tepian dermaga
Menantiku dengan sejumput rindu
Ibu, katamu dulu kau akan
menungguku
Pada nyiur dan jelaga hitam
Lalu mengapa kau memanggilku
sang durjana laknat
Maka seduh sedan tak ada guna
Karena laut telah mengekalkanku
dalam diam
Karena laut telah melahirkan
petaka
Bagi si anak durhaka
Duhai ibu, kabarkan pada setiap
yang bernyawa
Sebelum laut kembali murka
Biarlah tubuh bekuku menjelma
prasasti
Bila durhaka telah meraga dalam jiwa
Bila harus kutumpangkan sang
pendosa di tubuh perawan
Hingga tercipta
benih-benih tak bertuan
Kau tahu bu, aku hanyalah
lelaki rapuh
Yang tak berdaya akan hasrat
perindu
Bukankah perempuan itu juga
yang telah melahirkan sumpah serapah
Dari bibir bergincumu ?
Bu, dari cadasnya karang
Kutitipkan salam
Demi kerinduan yang terpendam
Sungguh, akulah si celaka itu
Yang telah memerah habis air
susumu
Kutuk saja menjadi batu
Agara lunas hutang sangsiku
Agar tak ada lagi keberangkatan
Agar tak ada lagi seduh sedan
Agar tak ada lagi benih-benih
yang tercampakkan
Karena aku dilahirkan sebagai
lelaki kundang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar