Karya : A. Muttaqin
Kupilih kayu untuk selembar pintu.
Kupilih jati ketimbang mahoni dan trembesi.
Sebab pada jati serat keteguhan merangkum diri.
Sebab pada jati segala janji sepi terberi.
Mungkin jati kenyang menyusu sungai.
Menggugurkan daun saat tanah pecah
dan padi-padi menundukkan kepala.
Sebab itu jati tumbuh sebagai pohon kuat.
Ketika dibuat pintu tak gampang dicungkil
pencuri laknat. Jati juga bisa jadi jendela
yang indah. Berbekal serat murni yang mirip
rajah di telapak tangan kita:
rajah yang memanggil sejuk angin timur
jika kita sedang susah tidur. Atau membawa
angin barat, jika pikiran kita sedang semburat.
Kadang ia juga membawa angin selatan
atau utara, seperti salam mesra yang diucap
bibir berkah. Begitulah. Begitu kayu-kayu
kupelajari rahasianya. Agar tak keliru saat
kutebang
di hutan sana. Seperti kala kupilih kayu meranti
daripada mahoni, untuk kotak lemari dan lelaci.
Sebab meranti menyimpan serat lembut murni.
Meniru perempuan yang gemi dan primpan.
Mengamankan intan dan marjan dari pengintai.
Pernah kupilih kayu jangkang ketimbang
kampar rindang. Kayu jangkang yang pahit
namun wingit, nyaman untuk meja panjang,
kuda goyang, atau ranjang senggang
yang diukiri elang, kawanan kijang
dan tujuh dayang yang sedang mandi di sendang.
Kupilah juga kayu pilihan untuk podium besar.
Kuhadapkan kayu itu ke matahari agar ia bersih
dari jamur dan sisa hujan. Dan dengan segenap
kekuatan, kuhiaskan ukiran kembang, burung terbang
atau khat
yang merawikan sholawat dan pujian.
Kubikin sedemikian nyaman. Sebab di sanalah
khotbah dan kitab suci kelak ditegakkan.
Di tanganku tergenggam tata ketam dan palu godam.
Dengan gergaji kutipiskan balok kayu jadi papan.
Kadang aku bertanya tentang takdir sang kayu:
apakah ia akan jadi tiang rumah, jadi meja, kursi
atau malah jadi peti yang menyimpan orang mati.
Kucipta mereka dengan teliti dan senang hati.
Seperti meramut anak-anak sendiri.
Dari hari ke hari. Dengan kecermatan penyawur
benih.
Dengan ketulusan seorang ibu yang tak terbagi.
Kerap terpikir juga mencipta pola pintu dan jendela
yang sanggup mengantar orang ke gerbang mimpi.
Atau ke jalan landai yang membuat mereka damai.
Atau yang seperti bibir kekasih, terbuka dan
terkatup
sendiri, mengucap doa-doa jika kita pulang atau
pergi.
Pernah pintu dan jendela macam itu dicipta sang
Yesus.
Dengan rasa paling halus. Dengan sepasang tangan tulus
dan kudus. Berkali-kali lelaki lembut gondrong itu
datang
ke mimpiku. Memberi perkul landep dan palu antep
padaku.
Ketika terbangun, perkul dan palu seolah masih
terpegang.
Tapi kedua tanganku gemetar. Kesepuluh jarinya
mengaduk diri seperti geruguk sepi. Terantuk dan tersaruk, mereka seolah
berkeras merayap dari sisiku. Merayap miring,
menyamping
mirip prilaku kepiting. Membawa telapak tanganku
pergi.
Satu ke kanan. Satunya lagi ke kiri. Mencari muara
sungai
paling murni yang saban malam mengalir dari
sebidang pipi:
sungai yang tak mungkin terjamah tanganku yang
hanya
mengenal perkul, palu, dan gergaji.
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar